Cerpen remaja



Menangisi Hujan
Menanti hujan. Itu jawabnya. Setelah setengah jam bersamanya, ia hanya terdiam sambil terus memandangi lagit yang setengah mendung. Dalam hati aku terus bertanya:  apa gerangan yang dipikirkannya gadis ini, Tuhan.
Aku menemukannya di atas jembatan dekat taman kota. Ia berusaha menggapai sesuatu di atas langit atau entah di mana. Saat itu tangannya seperti sedang berdoa, tetapi terus saja ia maju ke tepi jembatan dan tepat saat itu juga tubuhnya terpeleset hampir saja jatuh ke derasnya sungai kembang itu. Tapi hatiku seperti tak rela bila ia harus jatuh. Aku segera menggapai tangannya yang seperti meronta. Aku merasakan halus lembut tangannya bagai tangan bidadari, oh mahakarya tuhan. Sekian menit aku berusaha menolongnya dan kami terbebas dari jembatan itu.
Menangislah ia tersedu-sedu. Aku menyimpan beribu tanya dalam hati kenapa gadis ini. Ia terus memanggil sambil memandang langit. Semakin keras ia menangis, dan akhirnya tumpahlah seluruh tangisnya. Ya tuhan kenapakah gadis ini, bisikku dalam hati. Entah kekuatan dari mana yang memberanikannku memegang tangannya dan menempelkannya di dadaku. Tak kusangka tangisnya seketika berhenti, terdiam tanpa isak tagis sedikit pun. Namun matanya tajam memandangku seperti ketakutan.
“Aku Rio”
Tak ada reaksi sedikit pun darinya. Dia hanya memandangku penuh tanya.
“Aku, Rio. Rio Ardian Fareza. Tenang aku bukan orang jahat. Kebetulan aku lewat sini. Motorku mogok di sana setelah dari kampus,” kataku sambil menunjuk pojok jembatan itu.
Seketika tangannya ia tarik, ketakutan sepertinya. Berlarilah ia ke taman di ujung jembatan itu. Aku segera mengikutinya. Entah kenapa hatiku iba. Aku rasa dia orang yang rapuh tanpa daya. Seketika lelahku sirna melihat begitu melihat gadis ini. Manis wajahnya, namun sayang seyum jarang menghiasi wajahnya. Dia menyimpan sejuta misteri.
Taman ini sepertinya tempat favoritnya. Dengan mudah kutemui gadis itu di ujung taman di sebuah kursi panjang, masih sedikt menangis.
Tak peduli hujan terus mengguyur, aku beranikan duduk disampingnya. Padahal kusadari sikapnya yang dingin. Aku tersadar belum sepatang kata pun keluar dari mulutnya. Hanya tangisan. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, adakah manusia sedingin hantu layaknya gadis ini. Aku asyik dengan lamunanku sendiri, sementara gadis itu asyik menatap langit yang terus menangis mengeluarkan gerimis. Tersadar, dari awal aku melihat gadis ini selalu saja menandang langit. Sedikit bigung aku melihatnya. Sepertinya ia akan menangis tapi tidak mungkin berdoa. Ah, entahlah.
Aku bosan dengan situasi itu, aku segera beranjak hendak pergi, rupanya hujan telah reda. Tiba-tiba gadis tiu mengatakan sesuatu padaku. Dingin sekali raut wajahnya.
“Menanti Hujan. Fara….panggil saja ku Fara.”
Pagi itu kuliahku sangat padat tapi entah kenapa aku teringat pada hujan dan Fara. Setelah berbulan-bulan hujan tak datang. Tiba-tiba saja kutemui gadis pawang hujan itu. Pulang kuliah kusempatkan lewat jembatan itu. Sepi. Tak ada tanda-tanda kedatangannya, mungkin karena hujan telah lama berhenti.
Berkali-kali hujan mulai datang kembali. Hujan seakan menbawa ingatanku kembali ke pawing hujan itu. Hujan seperti meyihirku untuk selalu mengingatnya.
Kepenatan tugas kampus membuatku ingin segera pulang, namun hujan seperti biasanya segera turun. Segera aku menuju jembatan itu. Hingga, tak kusadari aku kehilangan gadis pawang hujan itu.
Selepas dari situ, aku pulang dipanuhi pertanyaan di kepala. Kujalani hari-hariku dengan tanda tanya. Aku harus membagi pikirannku dengan skripsiku, sementara separuh hatiku masih dipenuhi tanda tanya tentang dia.
Semakin hari hujan semakin turun, membuatku semakin ingin menemuinya. Akhirnya kuputuskan menemui gadis misterius itu. Kutemui dia bersama turunnya melaikat menyertai hujan. Tak kuliat mendung di wajahnya siang itu walau langit menangis. Namun terlihat awan menyertainya.
“Terimakasih telah mau menolongku. Sekarang aku tak akan jatuh lagi. Kau tak perlu mengikutiku lagi.” Untuk pertama kalinya ia menatapku dengan mata tajamnya.
Aku terbengong-bengong saat ia menatapku. Ya, gadis pawang hujan itu menatapku.
“Kau mengira aku seorang pawang hujan. Banyak orang mencurugaiku seperti itu, dan kau pun pasti begitu.”
Aku salah tingkah. Perkataannya sama dengan fikiranku. “ Hujan itu bagaikan malaikat bagiku. Ia sahabat yang tuhan kirimkan untukku, setiap tetes hujan yang jatuh ke bumi disertai dengan malaikat yang menemaniku dalam kesepian. Aku lebih suka menangis maupun tertawa saat hujan datang karena saat itu tidak ada orang yang tahu bahwa aku sedang menangis.” Hatiku beku pilu mendengar ceritanya.
“Apa tujuanmu menemuiku,” tanyanya sinis.
“Sejak bertemu denganmu dan hujan, entah kenapa aku ingin menjadi hujan untukkmu, dan bisa mengerti kamu.”
“Tahu apa kamu tentang hujan?”
“Aku memang belum tahu tentang kau apalagi hujanmu, tapi aku tidak peduli. Hujanmu telah menyihirku untuk jatuh cinta padamu.”
“Cinta itu hanya penghianatan saja.”
“Bukan, cinta bukan penghianatan, bisa saja yang dianugerhinya  tidak berhianat, aku mau belajar menjadi orang yang bukan penghianat bersamamu.”
Ia hanya menatap nanar menahan tangis.
“Bagaimana kamu belajar tidak berhianat bersamaku yang dikelilingi penghianatan.”
“Aku yang akan buktikan padamu bahwa tak semua penghianatan selamanya berhianat. Tak semua orang seperti ayahmu, Ra.”
“Dari mana kamu tahu tentang keluargaku?”
“Kau ingat saat aku menemanimu hujan kemarin, tak sengaja aku bertemu ibumu, beliau bercerita banyak tentang kamu, saat aku mencarimu saat kau menghilang.”
Segera ia melepaskan tangannya yang sedari tadi hangat kugenggam. Ia pergi meninggalkanku setelah mendengar kata-kataku, sambil menangis.
Aku menyesal telah menbuatnya menangis. Segara kukejar dia. Namun tak berhasil mendapatkan dia. Berbulan-bulan hujan tak turun,  aku jadi bersalah sekali padanya. Mungkin aku yang nenyebabkan hujan tak turun.
“Jangan bicara tentang itu pada Fara, Nak. Dia pasti marah padamu,” kata ibu Fara
“Lalu aku harus bagaimana supaya dia mau memaafkanku, Bu?”
“Hujan berbulan-bulan tak turun. Jika kamu bisa membuat hujan turun, maka Fara akan menganggapmu pantas menggantikan hujannya. Jangan khawatir, kuncinya mudah, percaya saja hujan akan turun, dengan memanggilnya, dengan doamu, temui dia di taman belakang. Saat senja ia selalu di sana.
“Ra, maafkan kelancanganku. Maafkan aku yang terlalu ingin tahu tentangmu.”
Belum juga sebongkah salju berwujud bidadari meleleh, masih beku.
“Ini untukmu,”katanya. 

11 April 2014
“Semenjak bertemu denganmu, separuh lukaku mengering, sedikit terbasuh hujan di senja itu. kau orang pertama yang bisa membuatku nyaman saat di sampingmu. Seperti hujanku, kau mampu mengikis batu yang telah lama kugunakan sebagai penutup luka yang menyangga.”

November 2014
“ Kurasa tak ada orang yang tak berniat di bumi ini. Tunggu siapa yang berhianat di sini….” “Kurasa menginginkan manusia sempurna sangatlah mustahil, Tuhan. Diakah malaikat yang kau kirimkan untuk menggantikan hujanmu yang selama ini tak kunjung datang?” 

Aku mengerti sekarang bagaimana cara mendatangkan hujan. Gumamaku dalam hati.
“Tapi aku ini siapa, aku bukan orang yang berpendidikan seperti kamu, dan aku sibuk dengan tulisanku yang belum tentu bermakna.”
“Tidak, aku tidak menginginkan apa-apa, kecuali aku bisa bahagia bersamamu.”
“Tapi, aku tak sempurna untukmu, tak layak menjadi milikmu, mungkin aku tak pantas  bahagia.”
“Tidak, aku tidak menginginkan kesempurnaan darimu. Kita bisa saja menyempurnakan hidup kita bersama-sama. Aku mohon, Ra.”
Hujan seakan mengerti maksudku. Hujan turun deras saat kulihat senyum menghiasi wajahnya yang manis akhirnya didadariku tak menangisi hujannya lagi.



Komentar